Meskipun Gerindra sudah masuk dalam komposisi menteri di era ke dua Presiden Jokowi. Bakan tak tanggung-tanggung, Prabowo yang menjadi rival kontestasi politik di pilpres pun mewakili Gerindra secara langsung dengan duduk di posisi kementerian bersama satu orang kader lainnya. Namun, Fadli Zon yang juga sebagai simbol Gerindra masih tetap nyinyir terhadap setiap kebijakan pemerintah.
Mau bener atau salah tentang kebijakan pemerintah pasti dia nyinyirin. Yang mempermasalahkan nyinyiran Fadli Zon itu seharusnya Gerindra itu sendiri. Sebab mereka harus bercermin, apakah yang mereka cari kalau dalam tubuh partainya sendiri tidaklah solid dan tidak ada tindakan yang tegas terkait itu. Di satu sisi masuk dalam lingkup pemerintahan, di satu sisi ada juga kader yang nyinyir.
Emang wajar sih yang namanya perbedaan dalam satu kubu itu. Tetapi, ada hal-hal yang membuat masa depan suatu kubu menjadi suram. Perjuangan partai akan dipertanyakan ketika jalan yang di ambil sebuah partai ga jelas tujuannya.
Kalo emang tujuan Gerindra biarin si Fadli Zon berkoar kerena ingin mencari keuntungan dengan berdiri di dua kaki, mungkin mereka masih berfikir hidup di zaman batu. Dimana orang bisa bermuka dua karena terbatasnya informasi. Tidak tegas, padahal Prabowo sendiri di-branding sebagai sosok yang tegas dan pemberani.
Gerindra yang saat ini sudah cukup besar, seharusnya mawas diri dalam bersikap. Keputusannya harus sejalan dengan apa yang dilakukannya. Jika tidak, maka Gerindra bisa dianggap sebagai partai pelacur yang menjajakan diri ke sana kemari karena tidak memiliki arah tujuan yang jelas.
Kalau mau belajar dari pengalaman, Gerindra mestinya menengok PAN yang kerap terlihat berdiri di dua kaki. Atau PKS yang nyungsep ketika harapanya berada di posisi 3 partai besar gagal karena dianggap tidak konsisten antara yang digemborkan sebagai partai dakwah dengan kenyataannya berbeda. Gerindra pun juga harus belajar dari Demokrat. Menurunnya ke tiga partai tersebut disebabkan dengan hal yang sama yaitu tidak konsistennya antara ucapan dan perbuatan.
Kita tengok ke belakang. PAN yang pernah bergabung dengan pemerintahan namun membiarkan Amien Rais berkoar dan nyinyirin pemerintahan pun membuat akar rumput bingung dan menimbulkan ketidak percayaan terhadap PAN. PKS yang berjargon sebagai partai dakwah namun tidak sesuai dengan harapan yang semestinya berisi orang suci pun membuat PKS harus bekerja keras untuk mendapat suara karena tragedi pemimpin tertinggi terlibat korupsi dan dugaan skandal.
Sedangkan Demokrat pemain iklan katakan tidak pada korupsi justru terjerat korupsi. Keadaan ke tiga partai tersbut diperburuk dengan minimnya kader yang populer di mata masyarakat. Kader yang benar-benar dianggap bisa bekerja.
Ke depannya, semoga Gerindra mulai memikirkan mencari atau membentuk kader yang pinter kerja, bukan pinter nyinyir saja. Itu pun kalau pengen Gerindra gak nyungsep ya.