Susah juga untuk tidak membandingkan Gibran dengan AHY. Mereka sama-sama anak presiden dan mantan presiden. Dunia politik sudah sangat akrab bagi diri mereka. Tentu AHY yang lebih dulu merasakannya. Sekarang Gibran dan AHY sama-sama menjadi politisi. Yang harusnya bisa berdiri sendiri. Meniti karir politiknya sendiri. Baik Gibran maupun AHY memilih untuk mengikuti pilkada, sebagai jalan ketika memutuskan terjun ke dunia politik. Jadi ya gimana, mau tidak mau, mereka berdua pasti akan kerap diperbandingkan.
AHY tentu lebih senior ketimbang Gibran. Sudah lebih dulu masuk ke pilkada. Dan sekarang AHY sudah menjadi Ketua Umum sebuah partai politik. Sedang Gibran baru mulai terjun sejak tahun lalu. Gibran tidak punya partai politik sendiri, melainkan kader partai saja. Yang dipercaya untuk maju di pilkada. Artinya, ada perjuangan tersendiri buat Gibran untuk membuktikan bahwa dirinya mampu bersaing di pilkada.
Saya pernah mempertanyakan kenapa AHY tidak memanfaatkan momen Pilkada 2020. Seperti Gibran, seperti Siti Nur Azizah anak Ma’ruf Amin, atau Rahayu Saraswati keponakan Prabowo Subianto. Tidak ada salahnya kan. Kalah menang tergantung rakyat pemilih. Walaupun Nur Azizah dan Saras sama-sama menderita kekalahan, tapi mengikuti pilkada jadi pengalaman yang bagus buat mereka. Mereka juga makin dekat dengan publik. Namun, AHY sama sekali tidak ikutan dalam Pilkada 2020. Takut kalah lagi mungkin?
AHY malah beberapa kali diliput media sebagai salah satu capres buat Pilpres 2024. Dalam berbagai survei elektabilitas, namanya memang kerap muncul. Di urutan bawah-bawah sih. Kalaupun dipilih oleh peserta survei, mungkin karena dia cukup ganteng. Tentu saja buat nyapres itu tidak sekedar modal ganteng. Sandiaga yang dibilang ganteng sama ratusan ribu bahkan jutaan emak-emak saja akhirnya kalah.
Seorang pengamat politik bahkan memberikan ulasan yang pahit soal AHY. Triyono Lukmantoro menyebut AHY tidak laku dijual dan berat untuk maju di Pilpres 2024. “AHY jadi calon gubernur lawan Ahok sama Anies Baswedan saja langsung kalah begitu di babak pertama langsung habis,” ujar Triyono. “Dia memang butuh jam terbang, apa yang dilakukan Pak Jokowi misalnya mengkaderkan Gibran ya itu sudah tepat kalau mau punya karier politik ya harus dimulai dari bawah. Dari Wali kota, Gubernur… Sekarang kalau anaknya Pak SBY itu kan semuanya karbitan. AHY jadi ketua umum partai demokrat kan karena dia jadi pangerannya di kerajaan partai demokrat. Bukan karena karier politiknya yang cukup baik. Jadi ngapain mengusung AHY? nggak ada tuh prestasi secara politiknya. Partai Demokrat juga dari waktu ke waktu suaranya makin menurun,” lanjut Triyono Sumber. Pahit banget ini, tapi kenyataannya memang demikian. AHY minus jam terbang, tidak punya karir politik, dan tidak bisa menunjukkan prestasinya.
Akhirnya terjadi kesenjangan yang makin besar antara AHY dengan Gibran. Gibran dalam masa kampanyenya, bisa mengusung pengalamannya sebagai pengusaha dalam mengurus orang banyak. Karena memang dia merintis usaha dari nol dan sekarang punya ribuan karyawan. Gibran juga dikenal sering meng-endorse produk UMKM dalam negeri lewat media sosial. Dia sangat aktif berinteraksi dengan pelaku UMKM. Gibran bisa dibilang mewakili anak muda milenial yang sukses dalam berbisnis.
Sementara AHY, hanya jungkir balik di lingkungan Partai Demokrat saja. Apa pun yang dilakukan AHY, misal menyumbang sesuatu terkait pandemi Covid, setahu saya masih dalam lingkup Partai Demokrat. Pengusaha bukan, penggiat media sosial juga bukan. AHY tidak mewakili siapa-siapa, kecuali partai yang dipimpinnya. AHY pun kehilangan momen di Pilkada 2020. Dia hanya ke sana ke mari menggalang dukungan buat calon kepala daerah yang diusung Partai Demokrat. Yang dapat nama siapa? Ya calon kepala daerahnya dong. AHY sekedar lewat saja.
Belakangan malah bapaknya AHY, SBY, yang makin akrab dengan para netizen. Mendekati akhir tahun 2020, SBY memberi pesan pada yang bermain politik identitas. SBY menyerukan bahwa politik identitas itu tidak bagus dan berbahaya Sumber. Tapi di pilkada DKI Jakarta tahun 2017 yang sarat politik identitas, SBY kok nggak bilang gitu? Mengawali tahun 2021, SBY kembali bikin pernyataan lucu. Soal vaksin. Katanya jangan berpikir lantaran ada vaksin, pandemi hilang dan ekonomi pulih, “Tuhan tidak suka” Sumber. Sontak pernyataan ini jadi bahan bully-an para netizen terhadap SBY dan AHY. Ini makin tidak menguntungkan AHY.
Akhirnya kemarin, Kamis (21/1), KPU menetapkan pasangan Gibran – Teguh sebagai Wali Kota dan Wakil Wali Kota Solo hasil Pilkada 2020 (Selamat ya mas Gibran!). Gibran pun menyambut kemenangan ini dengan bijak. Menyatakan dirinya dan Teguh Prakosa siap “kerja, kerja dan kerja” Sumber. Jalan pun terbuka ke depan buat Gibran menunjukkan kinerja dan prestasinya. Juga buat karir politiknya bertahun-tahun mendatang.
AHY? Masih disebut-sebut sebagai salah satu kandidat capres di 2024 kok. Tapi kan itu dari pihak lain. Dari lembaga survei dan media. Sementara dari pihak AHY sendiri, justru jadi perangkap. Sangat sulit bagi AHY untuk membuktikan apa alasannya sehingga dia memang mampu jadi capres. Pengalamannya apa? Kompetensinya apa? Prestasinya apa? Sementara Gibran sedang bersiap menyambut masa depan yang cemerlang, siap bekerja. AHY mungkin masih bingung, mau ngapain ya?