Agus dan bapaknya kelihatan sumringah lagi, pasalnya Kemenkumham telah menolak KLB kubu Moeldoko. Dengan demikian, pemerintah menyatakan bahwa permohonan pengesahan hasil KLB di Deli Serdang tanggal 5 Maret 2021, ditolak.
Pertarungan antara kubu Agus dengan lawannya, yakni Demokrat hasil KLB sesungguhnya baru akan dimulai ketika memasuki tahap gugatan kepada PTUN. Dan setelah keluarnya keputusan Kemenkumham yang menolak pendaftaran kepengurusan hasil KLB, secara otomatis memindahkan tongkat estafet perkara dari pemerintah kepada pihak pengadilan.
Kubu Moeldoko sangat memahami suasana kejiwaan pemerintah, kenapa permohonan mereka tidak diterima meskipun belum ada proses dialog antara pemerintah dengan kedua pihak yang berperkara.
Sesuai kapasitasnya, pemerintah hanya bertindak sesuai marwahnya, yakni dokumen tertulis yang bersumber dari konstitusi internal Demokrat sendiri. Pemerintah tidak bisa mengintervensi hingga pada menilai azas demokrasi dan kepatutan dari muatan AD/ART yang telah didaftarkan.
Mudah kita duga, bahwa yang menjadi fokus bagi kubu KLB adalah AD/ART itu sendiri. Seperti yang sejak lama menjadi bahan perdebatan di kalangan internal partai, konsep anggaran dasar partai ini terlalu sentralistik. Kenapa demikian, karena nyaris semua pemegang otoritas partai ada pada kalangan keluarga dekat SBY yang notabene adalah para pemegang elit partai.
Berangkat dari sanalah sesungguhnya yang menjadi pemicu awal, kenapa beberapa kader menginisiasi KLB, yang salah satu tujuannya melakukan reformasi pada konstruksi anggaran dasar tersebut.
Salah satu poin yang sangat menarik dibahas, dalam hal menetapkan sah atau tidaknya perhelatan KLB, ternyata sangat tergantung kepada persetujuan dari Ketua Majelis Tinggi, yakni SBY sendiri.
Betapa naifnya jika kita menganggap kewenangan seperti itu adalah hal yang sangat wajar. Alasannya karena pengurus pusat yang memiliki otoritas kunci hanya dimiliki oleh seorang ayah, para putra dan menantu serta segelintir keluarga mereka sendiri.
Dengan membaca gelagat ini saja, public tentu bisa mengkaji ulang, bagaimana mungkin seorang mantan penguasa tertinggi di negeri ini, mampu mengelola sebuah negara dengan bekal kemampuan berorganisasi sebagaimana kita lihat sekarang?
Barangkali hanya bisa kita temukan padanannya di negara paling terbelakang, yang entah letaknya di mana saat ini. Dengan konstruksi seperti itu, maka bisa dipastikan tak bakalan terjadi KLB yang dianggap sah, karena harus melangkahi kewenangan seorang yang sangat berkepentingan jika perhelatan itu dipaksakan.
Di samping akal-akalan ala koboi lembek tersebut, minimal sebagaimana pengakuan para mantan elit partai, ketika SBY mencaplok kursi Ketum dari Anas Urbaningrum, mereka merasa kena prank, yakni tercetusnya gagasan SBY yang tidak pernah dilaksanakan oleh dirinya sendiri sekalipun.
Salah satu poin yang sangat disesalkan oleh para mantan elit partai adalah ketika SBY berjanji hanya akan menduduki kursi Ketum hingga masa jabatan Anas Urbaningrum habis. Faktanya dia tetap mempertahankan kursi tersebut setelah Kongres berikutnya berlangsung. Ini berarti itikat baiknya sangatlah diragukan.
Sikap otoritariat SBY lebih kentara lagi ketika sejarah berdirinya Partai itu digambarkan oleh para pendirinya, yang ternyata tak memuat nama SBY atau kerabatnya di deretan deklarator.
Sungguh ironis ketika seorang pendatang, yang menurut pengakuan Johny Allen, hanya menyetor dana kisaran ratusan juta, belakangan justru menisbatkan dirinya sebagai pemilik dominasi suara di DPP.
Bagi publik pun tak kalah menyesakkan, karena kita tak bisa memungkiri seorang mantan penguasa tertinggi di negeri ini, melakukan cara-cara kotor untuk memaksakan kehendaknya, meskipun hanya terjadi di internal partainya sendiri.
Maka tak terlalu berlebihan jika kecurigaan publik terhadap dugaan keterlibatan orang-orang terdekat SBY dalam mega korupsi di era kepemimpinan sebagai Presiden, menyeruak sangat kencang. Barangkali hanya karena kekuasaan dirinya lah sehingga mereka belum tersentuh oleh hukum.
Tak kalah pentingnya, khususnya bagi mereka yang telah berani membangkang dan melakukan pembaharuan, agar tidak tanggung-tanggung melakukan pembersihan ke dalam. Langkah itu termasuk membuka tabir mega korupsi yang dilakukan para kroni sang mantan.
Barangkali dengan cara ini, kekuatannya akan sedikit melemah, terutama ketika dia ngotot mempertahankan jejak kakinya di puncak kekuasaan partai.
Tentu saja publik turut berkepentingan dengan pelurusan sejarah di salah satu partai yang pernah berkuasa di negeri ini. Rekam jejaknya di pemerintahan tentu harus dibersihkan dari isu-isu tak sedap.
Agar di kemudian hari tidak menjadi preseden buruk bagi partai mana saja yang mencoba menggerogoti pundi-punddi negara melalui cara tak terpuji.