
Presiden ke-6 RI Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) mengklaim usai lengser, pengangguran dan kemiskinan di republik ini drop. Selain itu, pertumbuhan ekonomi juga meningkat dengan baik. Padahal, jika melihat data Badan Pusat Statistik, kemiskinan Indonesia pada Maret 2019 mencapai 25,95 juta orang (9,82 persen), Angka ini berkurang sebesar 633,2 ribu orang dibandingkan dengan kondisi September 2017 yang sebesar 26,58 juta orang (10,12 persen).
Meski demikian, beberapa tokoh pun berasumsi kemiskinan di Indonesia masih tinggi. Salah satunya mantan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) yang menyatakan masih ada 100 juta orang miskin di Indonesia.
Hal ini bertolak belakang dengan penyataan SBY di dalam Sidang Promosi Doktor IPB University Edhie Baskoro Yudhoyono (Ibas) yang disiarkan di YouTube. “Alhamdulillah sejarah membuktikan kalau dulu setelah selesai memimpin. Pengangguran kita drop, kemiskinan kita drop secara signifikan dan pertumbuhan meningkat dengan baik,” kata SBY, seperti dikutip Jumat (11/6/2021).
Menurut SBY, kebijakan tersebut berhasil. Menurutnya, pengangguran hingga kemiskinan drop. Setelah lengser, kepemimpinanya menunjukkan hasil yang baik. Dia menyebut angka kemiskinan dan pengangguran turun secara signifikan, demikian pula pertumbuhan ekonomi yang meningkat.
Bagaimana jika dibandingkan dengan era Jokowi? Apakah jauh lebih baik? Beberapa waktu lalu, Senior Officer International Forum on Indonesian Development (INFID), Hamong Santono menanggapi asumsi dari SBY. Menurutnya, program-program penanggulangan kemiskinan yang diluncurkan pemerintah Jokowi sudah efektif dalam mengatasi kemiskinan. Bahkan jika dibandingkan, maka upaya penurunan angka kemiskinan di era Jokowi lebih baik dari pada era SBY.
“Apa yang disampaikan Pak SBY menjadi kurang tepat karena saat memimpin pemerintahan sebelumnya, ukuran kemiskinan yang digunakan sama dengan yang digunakan pemerintah saat ini. Bahkan saat itu menurunnya angka kemiskinan tidak diikuti dengan penurunan ketimpangan,” kata Hamong dalam konferensi pers di Jakarta, Rabu (8/8/2020).
Sayangnya, saat pandemi Covid-19 berdampak pada jumlah kemiskinan, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengatakan, Bahkan persentase kemiskinan pada Maret tahun 2020 bisa kembali ke double digit seperti tahun 2011 lalu.
Itu artinya tingkat kemiskinan Indonesia berpotensi kembali ke level 12%, sama persis dengan kondisi tahun 2011 silam ketika zaman pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY). Mengacu data Data Badan Pusat Statistik (BPS) pada Maret 2011 mencatat angka kemiskinan Indonesia mencapai 30,02 juta orang atau berada di level 12,49%.
Jika kembali pada tahun 2011, artinya angka kemiskinan tahun 2020 akan melonjak 4,88 juta dari jumlah kemiskinan pada Maret 2019 yang tercatat 9,41% atau 25,14 juta orang. “Jumlah angka kemiskinan akan naik, Covid-19 Maret-Mei lonjakan angka kemiskinan balik seperti 2011. Seluruh pencapaian penurunan kemiskinan dari 2011 hingga 2020 ini kembali,” ujarnya melalui teleconference, Rabu (6/5/2020).
Sejak 2014 tingkat kemiskinan di Indonesia terus mengalami penurunan. Pada September 2014 tingkat kemiskinan di Indonesia mencapai 10,26% atau jumlah penduduk miskin di Indonesia kala itu mencapai 28,59 juta.
Menurut Ekonom Universitas Indonesia Faisal Basri menyitir Indeks Piketty. Di situ dijelaskan perbandingan perbedaan pendapatan 20 orang terkaya dengan warga kebanyakan antar negara. “Dari data 2008-2012 ini, ketimpangan kita bahkan lebih buruk dari India. Jadi makin kaya Anda, makin gencar kemajuannya. Makin miskin, semakin lambat perkembangan Anda,” ujarnya, dalam diskusi dihelat Indonesia Research & Strategic Analysis (IRSA), di Jakarta.
Anggota Tim Nasional Percepatan Penanggulangan Kemiskinan (TNP2K) Ari A. Perdana menjelaskan bahaya ketimpangan yang membesar di era SBY. Dalam rezim pemerintahan era SBY 10 tahun terakhir, koefisien gini tembus 0,41. Padahal di era Orde Baru, kesenjangan orang kaya dan miskin tak pernah melewati angka 0,39. “Situasi ini bisa dirasakan. Gampangnya gini deh, kalau kelas menengah jalan ke suatu tempat dan tidak merasa aman, di situ tandanya ketimpangan pendapatan menciptakan dampak buruk,” kata Ari, pada Rabu, (2/7/2014) silam.
Kembali menghadapi Pilpres di 2024 nanti, SBY sepertinya akan unjuk gigi keberhasilan saat pemerintahannya. Hal ini tentu ambisi untuk mencalonkan Agus di Pilpres mendatang. SBY mungkin berharap, dengan promosi dirinya, dapat meningkatkan elektabilitas Agus yang tidak lebih dari 5 persen. Tapi kenyataannya, di era bapaknya Agus pun tidak hanya tingkat pengangguran-kemiskinan tidak lebih baik dari era Jokowi, juga banyaknya proyek yang mangkrak, salah satunya yang menjadi legenda adalah Candi Hambalang. Kini, tinggal rakyat yang memilih, pemimpin seperti apa yang layak menerima tongkat estafet Jokowi, salah satu Presiden RI terbaik Indonesia.