Dalam membaca keributan dan usulan pembatalan Statuta Universitas Indonesia, tidak bisa dilihat secara sederhana, seolah-olah keberadaan dan perubahan Statuta Universitas Indonesia hanya untuk melindungi rangkap jabatan Rektor Prof. Ari Kuncoro.
Ada hal yang lebih mendasar dari itu, pertama adalah perubahan kewenangan Rektor dalam memberhentikan Wakil Rektor setiap diperlukan, kedua mengenai rangkap jabatan dan ketiga hilangnya kewenangan Dewan Guru Besar dalam memberikan penilaian dan persetujuan kenaikan jabatan fungsional Lektor Kepala dan Guru Besar dan memberikan pertimbangan/masukan perubahan RPJP, Renstra, atau RKA di bidang akademik.
Ketiga hal ini tidak pernah dilihat dan dibicarakan oleh para pengkritik Statuta Universitas Indonesia. Namun pernyataan yang sering dikutip adalah proses yang seolah-olah organ lain di Universitas Indonesia ditinggalkan dalam pembahasan Statuta.
Perubahan Pasal Pemberhentian Wakil Rektor
Sampai dengam bulan Oktober 2020, hubungan antar organ dan pembahasan perubahan Statuta, tidak muncul kepermukaan. Keadaan di Universitas Indonesia baik-baik saja. Kita bisa lihat pembahasan statuta yang dilakukan antar organ masih lancar-lancar saja. Pembahasan masih dilakukan oleh semua organ. Dari Dewan Guru Besar selalu hadir Ketua Dewan Guru Besar. Dari pihak Rektorat selalu ada Sekretatis Universitas dan Wakil Rektor, dari Senat Akademik Ketua Senat Akademik tidak absen dan tentu saja yang mewakili MWA selalu ada utusan yang hadir.
Pecah kongsi ini terjadi, ketika Wakil Rektor I diganti oleh Wakil Rektor III dan Wakil Rektor IV diganti oleh yang baru. Wakil Rektor IV, tidak mempersoalkan ketika diganti dan diberi jabatan baru sebagai Sataf khusus. Sedangkan ketika jabatan baru Kepala Badan ditawarkan kepada Wakil Rektor I dia menolak. Alasan saksi yang dia hadirkan di sidang PTUN, karena jabatan yang ditawarkan hanya setara dengan Kasubdit. Titik awal perseteruan sebenarnya terjadi karena adanya pemberhentian Wakil Rektor Bidang Akademik dan Kemahasiswaan, yang tidak dapat menerima pemberhentiannya berdasarkan Surat Keputusan Rektor Universitas Indonesia Nomor:1689/SK/UI/2020, tanggal 20 Oktober 2020. Yang digugat bukan hanya Keputusan pemberhentian, tetapi Keputusan terhadap pengangkatan pengganti Wakil Rektor Bidang Akademik dan Kemahasiswaan juga dilakukan.
Pemberhentian Wakil Rektor Bidang Akademik dan Kemahasiswaan, pernah dipersoalkan secara resmi oleh Dewan Guru Besar dengan Surat tangal 26 Oktober 2020, kemudian disusul dengan Pernyataan Keperihatinan, tanggal 27 Oktober oleh sejumlah Guru Besar, meskipun ada juga yang menyangkal ikut serta membuat dan setuju dengan pernyataan keperihatinan, karena namanya hanya dicantumkan begitu saja.
Dalam keterangannya dihadapan persidangan PTUN tentang pemberhentian Wakil Rektor oleh Rektor, mantan Rektor UI Prof. Muhammad Anis menyatakan, bahwa ketika antara Rektor dan Wakil Rektor kemesterinya tidak cocok lagi, maka Wakil Rektor harus dengan lapang dada menerima pemberhentiannya. Wakil Rektor itu ditunjuk oleh Rektor, jabatannya bukan dipilih seperti jabatan Rektor. Dan yang bertanggungjawab menjalankan roda organisasi Universitas adalah Rektor bukan Wakil Rektor. Diterangkan pula, oleh Prof Muhammad Anis selama dia menjabat Plt Rektor, dia memberhentikan 3 (tiga) orang Wakil Rektor, dan ketika dia sudah menjabat sebagai Rektor definitif dia pernah juga memberhentikan 2 (dua) orang Wakil Rektor. Tidak ada persoalan dengan pemberhentian ini, karena jabatan itu dimaknai sebagai kepercayaan Rektor.
Sebagai Ahli yang dihadirkan di persidangan PTUN Prof. Yusril Ihza Mahendra mengatakan, pemberhetian Wakil Rektor oleh Rektoradalah sebagai hak perogratif Rektor, karena sifat dari Wakil itu adalah sama dengan yang disebut dulu sebagai “Pembantu Rektor” dan jabatan Wakil Rektor itu adalah jabatan kepercayaan yang diberikan oleh Rektor.
Sengketa pemberhentian Wakil Rektor ini dipermasalahkan tidak terlepas dari tidak jelasnya bunyi dari Statuta Universitas Indonesia berdasarkan PP 68 Tahun 2013, yang menyatakan bahwa Wakil Rektor diangkat dan diberhentikan untuk masa jabatan 5 (lima) tahun. Sedangkan dalam PP 75 Tahun 2021, Wakil Rektor diangkat dan diberhenti oleh Rektor. Artinya ada ketegasan hak Rektor untuk memberhentikan Wakil Rektor sesuai kebutuhan Rektor atau setiap ada ketidak cocokan antara Rektor dan Wakil Rektor. Perubahan mendasar dalam satuta UI No.75 Tahun 2021 adalah ketegasan jabatan Wakil Rektor yang dapat diberhentikan oleh Rektor sesuai kebutuhan Rektor atau karena terjadi ketidak cocokan antara Rektor dan Wakil Rektor.
Rangkap Jabatan Rektor
Dalam statuta PP No.68 Tahun 2013 larangan bagi Rektor dan Wakil yang dinyatakan dalam Pasal 35, adalah, “pejabat pada badan usaha milik negara/daerah maupun swasta”. Sedangkan dalam PP No.75 Tahun 2021 larangan bagi Rektor dan Wakil Rektor adalah “direksi pada badan usaha milik negara/daerah maupun swasta”.
Larangan bagi Rektor dan Wakil Rektor menurut statuta berdasarkan PP No.68 Tahun 2013 adalah menjadi pejabat pada BUMN dan BUMD maupun swasta. Pejabat yang disebut dalam statuta tidak jelas diamanatkan kepada siapa. Kalau hal ini dilihat dari UU perseroan, maka akan ada yang menganggap bahwa Dewan Komisaris itu bukan pejabat, karena tugas mereka adalah sebagai pengawas dan penasehat dalam kegiatan Perusahaan. Hal tersebut dapat dibaca dari ketentuan bahwa mereka tidak mempunyai tanggung jawab terhadap kepailitan, sepanjang dapat membuktikan tidak ada kesalahan atau kelalaian, sudah melakukan pegawasan dengan iktikad baik, tidak mempunyai kepentingan pribadi, dan telah memberikan nasehat untuk mencegah terjadinya kepailitan.
Dalam hal PP 75 Tahun 2021, larangan terhadap Rektor dan Wakil Rektor itu sangat tegas yaitu menjadi Direksi, karena kalau dilihat undang-undang perseroan Direksi adalah organ Perseroan yang bertanggung jawab penuh atas pengurusan Perseroan untuk kepentingan dan tujuan Perseroan, serta mewakili Perseroan, baik di dalam maupun di luar pengadilan.
Dengan demikian sebenarnya Pasal 39 huruf c PP 75 Tahun 2021, adalah mengatur lebih jelas larangan terhadap Rektor atau Wakil Rektor yang juga diberi beban atau mendapat beban melakukan pekerjaan lain selain sebagai Rektor dan Wakil Rektor.
Tentu tidak ada yang salah dengan adanya penegasan larangan terhadap Rektor dan Wakil Rektor yang diamanatkan oleh PP 75 Tahun 2021, karena ketentuan ini lebih memberi kepastian hukum.
Kewenangan Dewan Guru Besar
Ada 4 (empat) Peraturan Pemerintah tentang Statuta Universitas Negeri sebagai BHMN yang dikeluarkan oleh Pemerintah di tahun 2013. PP No.65 Statuta Institut Teknologi Bandung, PP No. 66 Tahun 2013, Statuta Institut Pertanian Bogor, PP 67 Statuta Universitas Gadjah Mada dan PP 68 Statuta Universitas Indonesia.
Dalam Statuta, hanya pada Statuta Institut Pertanian Bogor dan Statuta Universitas Indonesia, yang memberikan kedudukan khusus kepada Dewan Guru Besar sebagai Organ dari perguruan tinggi. Dalam statute ITB, Dewan Guru besar hanya menjadi forum yang dibentuk oleh Senan Akademik. Sedangkan dalam Statuta Institut Pertanian Bogor, Guru Besar sebagai organ menjalankan pengembangan keilmuan, dan pengembangan budaya akademik. Dalam Statuta Universitas Gadjah Mada, dikatakan, “DGB adalah perangkat UGM yang berfungsi sebagai pemberi nasihat, penjaga integritas moral dan etika sivitas akademika serta mengembangkan pemikiran dan pandangan terkait dengan isu strategis nasional dan/atau internasional dalam rangka mendukung peran dan kontribusi UGM bagi kesejahteraan bangsa dan umat manusia”.
Akan tetapi dalam Statuta Universitas Indonesia, selain sebagai organ Universitas Indonesai, sebagaimana diatur dalam pasal 41, memberikan kekuasaan yang besar kepada Dewan Guru Besar, antara lain dikatakan “tugas dan kewajiban”, “melakukan penilaian dan memberikan persetujuan pada kenaikan jabatan fungsional lektor kepala dan Guru Besar untuk ditindaklanjuti oleh Rektor; memberikan pertimbangan/masukan kepada Rektor dalam penyusunan dan/atau perubahan RPJP, Renstra, atau RKA di bidang akademik”.
Generasi Statuta berikutnya PP No. 30 Tahun 2014, Statuta Universitas Airlangga yang tidak menyebut keberadaan dari Dewan Guru Besar. Sedangkan PP No.53 Tahun 2015 Statuta Universitas Hasanudin, disebut sebagai Dewan Profesor yang dikatakan sebagai perangkat Senat Akademik. Adapun PP No.54 tahun 2015 Statuta Institut Teknologi Sepuluh Nopember, Dewan Profesor dinyatakan sebagai perangkat dari Senat Akademik.
Konflik di Universitas Indonesia ini bukan sesuatu yang baru, kita bisa lihat ketika konflik yang keras bahkan saling pecat di tahun 2011 dan tahun 2012. Konflik yang sekarang terjadi di Universitas Indonesia, bukan hanya karena adanya rangkap jabatan Rektor yang menjadi Wakil Komisaris, akan tetapi tidak terlepas dari konflik antara Rektor dan mantan Wakil Rektor yang mendapat “dukungan” dari sejumlah Guru Besar dan Dewan Guru Besar dan tentu saja dapat diduga hal ini semakin panas karena hilangnya “tugas dan kewajiban” strategis dari Dewan Guru Besar yang bisa menjangkau banyak hal di Universitas Indonesia. Dari membaca 8 (delapan) Statuta Universitas yang ada seperti dikemukakan diatas, seharusnya perubahan Statuta No.68 tahun 2013 menjadai Statuta No.75 Tahun 2021, harus dibaca sebagai upaya meluruskan banyak hal terkait kewengan yang selama ini tumpang tindih di Universitas Indonesia. Bukan untuk melindungi jabatan rangkap dari Rektor.