Pepo sepuluh tahun menjadi presiden, 2004 – 2014. Tetapi rasanya tidak ada yang perlu penulis kenang dari beliau. Sangat beda misalnya dengan Soeharto yang meskipun kini sarat dengan berbagai “cela noda dan dosa” namun meninggalkan banyak warisan pembangunan yang layak dikenang.
Soal ini, Jokowi pun melakukan banyak hal yang layak dikenang. Dalam periode pertamanya saja telah melakukan banyak hal membuat namanya akan dikenang sepanjang masa. Keberaniannya keluar dari patron, yang selama ini menjadikan Pulau Jawa sebagai sentral pembangunan, menjadi nilai tambah baginya.
Seperti yang dirangkum oleh seword.com Di era Presiden Jokowi, seluruh kawasan RI dirangkul, dan dijadikan “sentral” pembangunan. Papua yang selama ini seolah terlupa, dibangun dengan tujuan pemerataan. Keputusan dan keberanian Jokowi memindahkan ibu kota ke Kalimantan yang nota bene bagian tengah Kepulauan Nusantara merupakan isyarat kuat bahwa semua kawasan NKRI akan punya akses yang sama ke pemerintah pusat.
Sayang, pandemi membuat rencana besar dan futuristik itu tersendat. Rencana ibu kota akan berpindah secara bertahap sebelum Jokowi lengser pada 2024, sepertinya akan tertunda.
Tetapi ini bukan salah pemerintah, bukan? Wabah covid-19 membuat sumber dana digelontorkan untuk menanggulangi covid-19. Dan bukan hanya Indonesia, seluruh dunia juga mengencangkan ikat pinggang.
Dan yang jelas, jika proyek ibu kota belum rampung, hal itu bukan karena korupsi, namun karena situasi global yang membuatnya demikian. Beda dengan proyek Hambalang yang mestinya gampang dituntaskan karena luasnya hanya beberapa ribu hektare. Tetapi karena rakusnya para bintang iklan “Katakan tidak pada korupsi”, proyek itu pun terbengkalai, jadi tempat angker.
Ini pula yang membuat khalayak tidak percaya lagi pada kader-kader partai ini, yang cuma lantang berteriak “tidak”, padahal korupsi. Tidak heran jika partai ini tenggelam. Apalagi gebrakan Jokowi membuat nama ketumnya yang mantan presiden itu pun semakin nyungsep.
Tapi dia tiba-tiba timbul lagi dengan cara mendorong anaknya untuk maju pada pilgub DKI Jakarta tahun 2017 lalu. Suatu keinginan yang gila sebenarnya mengingat sang anak masih mentah dan culun.
AHY yang masih berpangkat mayor, dan punya peluang besar untuk sukses di TNI, justru ditarik demi angan-angan menduduki kursi gubernur DKI Jakarta. Dari sana, dia dikhayalkan melenggang ke Istana. “Jokowi yang kurus kerempeng saja bisa, masak kamu yang ganteng dan gagah ini tidak bisa Nak?” demikian, mungkin, si Pepo membujuk dan merayu sang putra.
Dasar AHY yang masih lugu dan polos atau mungkin o’on? Dia mau saja. Apa dia tidak pernah belajar sejarah bahwa militer yang silih berganti menjadi gubernur DKI Jakarta itu rata-rata berpangkat mayor jenderal (mayjen)? Sedangkan dia masih jauh dari itu. Tapi begitulah jika mata dan hati sudah dibutakan oleh kilau jabatan dan kedudukan
Ketika itu, Pepo selaku presiden RI melantik para perwira muda itu di Graha Samudra Bumo Moro, Markas Komando Armada Kawasan Timur, Surabaya. Pepo mengingatkan para perwira lulusan akademi TNI dan Polri tidak bercita-cita menjadi kepala daerah.
Pepo juga menyebut bahwa memiliki keinginan untuk menjadi jenderal, laksamana atau marsekal itu wajar dan benar bagi para perwira. “Yang tidak benar kalau kalian memasuki akademi TNI Polri lantas cita-citanya ingin menjadi bupati, walikota, gubernur, pengusaha, dan lain-lain. Tidak tepat,” kata Pepo waktu itu.
Tetapi pesan yang bernas dan menggetarkan jiwa para perwira itu akhirnya berubah jadi bahan olok-olok atau cibiran publik ketika pada 2017 Pepo diduga menarik AHY dari dinas kemiliteran untuk berlaga di Pilgub DKI 2017.
Kalau diingat pesan Pepo waktu itu sama saja menjilat ludah sendiri yang pada akhirnya omongan darinya tidak bisa dipercaya lagi.