Agus Harimurti Yudhoyono atau AHY tiba-tiba kembali menyalak, galak. Seolah menyalahkan buzzer di era demokrasi ini. AHY mengatakan buzzer saat ini mengerikan bahkan sudah dijadikan profesi. Agus tutup mata bahwa sejak era tahun 2013 menjelang pemilihan presiden 2014 sampai sekarang ini orang atau tokoh yang paling banyak diserang adalah presiden Jokowi.
Tahun 2014 agus masih aktif sebagai Tentara Nasional Indonesia. Walaupun begitu, Agus tahu siapa tokoh atau orang yang paling sering diserang dengan Hoax, black campaign hate speech.
Apa yang dirasakan Agus saat ini belum ada apa-apanya dibanding apa yang dialami dengan Presiden Jokowi. Seharusnya Agus tidak perlu ‘baper’ dan merasa dirinya paling dirugikan soal buzzer. Menyalahkan buzzer padahal menutupi ketidakmampuannya mengelola emosi diri. Jadi sebetulnya apa yang dimaksudkan Agus itu sudah sejak dulu, hanya sebutan buzzer itu baru naik daun beberapa tahun belakangan ini
Seperti yang lansir oleh rekan-rekan detik berikut ini. Ketua Umum Partai Demokrat (PD) Agus Harimurti Yudhoyono atau AHY menyoroti ‘post-truth politics’. Era itu menurut AHY ditandai dengan adanya buzzer.
“Post-truth politics. Politik fitnah dan saling ‘membunuh karakter’ memang bukan sesuatu yang baru. Tapi di era yang semakin digital ini, post-truth politics sangat mudah untuk diorkestrasi secara membabi buta. Hoax, black campaign, hate speech, dan berbagai format disinformasi lainnya, seolah menjadi norma baru dalam kehidupan demokrasi kita,” kata AHY, dalam pidato politiknya, Senin (23/8/2021).
AHY menyebut buzzer di era demokrasi ini kian mengerikan. Dia bahkan mengatakan buzzer menjadi profesi baru saat ini. Sekarang apa bedanya dengan politisi, pengamat, LSM, ormas yang juga membuat konten? Mereka malah double job. Menggunakan status mereka yang kerap dijadikan rujukan berita meinstream. Dan berikut kata Agus.
“Mengerikan, ketika mengetahui bahwa hari ini sangat mudah bagi siapa pun menjadi korban fitnah, tanpa daya untuk mengklarifikasinya, kebohongan yang berulang-ulang, cepat atau lambat akan menjadi kebenaran baru. Kecanggihan teknologi informasi dan komunikasi, juga penetrasi media sosial yang semakin luas, seharusnya diikuti dengan kesadaran kita untuk menggunakannya secara lebih hati-hati dan bertanggung jawab,” ujarnya.
“Kenyatannya justru sekarang ada profesi baru, yaitu pasukan buzzer yang memang pekerjaannya adalah memproduksi dan menyebar fitnah dan kebohongan termasuk menghabisi karakter seseorang atau suatu kelompok yang dianggap berbeda sikap dan pandangan dalam situasi seperti ini,” lanjutnya.
Kurang tepat rasanya bila Agus hanya menyalahkan buzzer saja. “Kenyatannya justru sekarang ada profesi baru, yaitu pasukan buzzer yang memang pekerjaannya adalah memproduksi dan menyebar fitnah dan kebohongan termasuk menghabisi karakter seseorang atau suatu kelompok yang dianggap berbeda sikap dan pandangan dalam situasi seperti ini,” lanjutnya.
Agus semestinya belajar banyak dari Gibran. Ketika ayahnya dihina dan dilecehkan, ia hanya menjawab dengan santai, “Itu sudah resiko” dan “Rasah diurus”. Apa yang dilakukan Gibran rasanya sudah cukup tepat. Dari pada habis energi mending fokus kerja melayani warga. Tak perlu baper. Agus rupanya kalah kelas soal berjiwa besar sama Gibran.
Kalau Agus mau memahami sebetulnya ada dua golongan buzzer secara mendasar. Pertama; buzzer NKRI yang cinta negeri, kedua: buzzer yang memback-up oposisi atau simpatisan pembenci Jokowi.
Lalu golongan buzzer mana yang dimaksud gus?