
Lagi-lagi dan lagi sang Pangeran Cikeas memuntahkan pernyataan yang menimbulkan dalam logika masyarakat. Pidato kebangsaan Sang Pangeran Agus Harimurti Yudhoyono (AHY) di Center Strategic and International Studies (CSIS) menarik perhatian, tetapi bukan untuk dikagumi melainkan dicibir dan dipertanyakan.
Pangeran AHY mengatakan anak muda tidak boleh dimanja, apalagi disiapkan karpet merah. Nah loh, bukanya AHY sendiri diberi karpet merah oleh sang ayah? apakah itu bukan dimanja?
Bukannya dipuji AHY justru mendapatkan sindiran balik. Bahkan media dan media sosial terjadi banyak perang argument antara pendukung dan kontra. Salah satunya datang dari antara Pangeran AHY dengan politisi muda Partai Solideritas Indonesia (PSI), Kakak Tsamara Amany.
Kakak Tsamara mengatakan banyak anak muda yang harus bekerja keras, kuliah sambil kerja paruh waktu untuk membantu meringankan beban orang tuanya. Mereka itu tidak tahu apa itu karpet merah.
Sependapat dengan Kakak, hari ini pun masih banyak anak muda yang tengah berusaha dan berupaya untuk menjadi orang hebat, para aktivis mahasiswa, akademisi dan anggota organisasi yang sedang merintis karir dari bawah.
Bukan ujuk-ujuk langsung bisa dapat tiket dan dijadikan calon gubernur saat baru bergabung ke dalam partai politik (Parpol). Kalah dari perhelatan perebutan kursi gubernur, malah jadi ketua umum parpol. Apakah itu masuk sebagai katergori dimanjakan dan diberikan karpet merah atau tidak?
Jejak digital dan pernyataan di media bisa jadi saksi, saat Partai Demokrat (PD) dilanda prahara dualism, siapa yang menyalah-nyalahkan orang lain serta memosisikan diri seolah jadi korban kejahatan orang lain.
Bukan memikirkan solusi terbaik untuk keluar dari ancaman dualisme partai, malah sibuk mencari pembelaan dan menuding-nuding orang lain yang merancang badai yang dihadapi oleh partainya.
Seadainya Mas AHY memulai karir di partai dari jabatan paling bawah dan mampu merangkul semua kader, pastilah akan bersikap berbeda dalam menghadapi prahara yang melanda PD. Namun sayangnya bisa dibilang Mas AHY dapat karpet merah di partai, belum sampai satu dekade, dirinya bisa langsung menduduki posisi ketua umum. Ya Sah-sah saja, PD kan milik keluarganya, bukan milik Rakyat.
Jikalau saja Mas AHY bersabar sampai pension, mungkin saat berpidato soal karpet merah cibirannya tidak akan sebanyak sekarang. Saat anak muda lain bermimpi masuk Akmil atau Akademi kedinasan lainnya, Mas AHY malah meninggalkan pangkat perwira menengah untuk terjun ke dunia politik?
Saat purnawirawan menjadikan politik jalur untuk tetap berbakti pada tanah air usai pension, kok Mas AHY malah mengorbankan kehormatan sebagai seorang prajurit untuk terjun dalam politik praktis? Itu amatlah disayangkan.
Mengapa Mas AHY keluar dari TNI? Apakah takut tidak mendapatkan karpet merah? Lalu setelah munudur sebagai seorang prajurit, karir Mas AHY di PD melejit. Di saat kader lain rame-rame antri untuk mendapatkan restu partai maju sebagai kepala daerah, Mas AHY malah langsung dicalonkan sebagai gubernur.
Karir di PD pun melejit usai kalah dalam perebutan kursi DKI 1, posisi ketua umum langsung dipegangnya. Apakah itu tidak bisa disebut sebagai karpet merah Mas AHY di PD? Biarlah publik yang menjawab dengan logika mereka.