Baru kali ini muncul kader daerah yang mengancam petinggi DPPnya. Bagi Demokrat ini merupakan kasus lain setelah masih ketar-ketir bakal di tinggal kadernya pindah parpol lain, lantaran musda yang tidak lagi sebagai forum tertinggi pengambilan keputusan di tingkat propinsi.
Sebab di AD/ART baru partai Demokrat, ada satu tahap di atas musda untuk memilih siapa yang jadi pimpinan partai di daerah. Kalau di parpol lain, peraih dukungan suara terbanyak, otomatis sebagai ketua DPD propinsi.
Tapi di partai berlambang mirip mercy itu, figur ketua baru ditentukan tim 3 setelah peraih suara terbanyak pertama dan kedua dipanggil ke pusat untuk mengikuti fit and proper test. Tim 3 ini terdiri dari ketum partai Demokrat AHY, sekjen Teuku Riefky Harsya, dan ketua badan pembinaan organisasi kaderisasi dan keanggotaan (BPOKK) Herman Khaeron.
Maka wajarlah bila banyak pentolan di daerah yang di saat musda memperoleh suara terbanyak terus pada hengkang dari Demokrat. Sebut saja Ilham Arif Sirajudin (IAS) eks tokoh Demokrat Sulawesi Selatan yang mengantongi 10 suara, dikalahkan Ni’matullah yang hanya dapat 8 suara tapi menang tahapan fit and proper test.
Bayu Airlangga di Jawa Timur juga begitu. Bayu merasa dizalimi. Bayu yang menantu pakde Karwo didukung 25 DPC, sedangkan Emil Dardak, wagub Jatim, mendapat suara di bawahnya, hanya didukung 13 DPC. Tapi Dardak lah yang terpilih sebagai ketua DPD Demokrat Jatim.
Sekarang nggak usah nyebut banyak kekisruhan lain di berbagai daerah gegara musda. Dari 2 eks pentolan partai ini saja, bisa diperkirakan berapa ratus atau bahkan mungkin ribu loyalis IAS dan Bayu yang ikut hengkang dari Demokrat.
Belakangan ini, demokrat kembali diterpa prahara tapi bukan lantaran musda. Ini ribut-ribut datang dari DPD Demokrat Kepulauan Riau. Ketua DPD Kepri, Asnah dan loyalisnya mundur massal. Pengunduran diri Asnah diikuti sekitar 50 persen pengurus DPD Demokrat Kepri.
Mereka secara serentak melepas atribut organisasi di depan kediaman Asnah. Dia memang tak merinci alasan pengunduran dirinya. Yang jelas bukan masalah internal.
Elit pusat malah menuding Asnah mengancam kalau menantunya tidak memimpin DPC Batam akan mundur massal bersama loyalisnya. Sekjen Demokrat Teuku Riefky Harsya tegas mengatakan tidak boleh ada yang mengancam partainya.
Bila daerah berani mengancam pusat, tampaknya ada sesuatu yang salah. Komunikasi dua arah barangkali tidak lancar antara pusat dan daerah. Bahkan Bayu eks ketua DPD Jatim menohok, AHY menzalimi dirinya.
Bila secara terbuka kader di banyak daerah berani hengkang dari partai demokrat, saya menduga, sebagian besar simpatisan partai ini akan berpikir ulang untuk nyoblos lagi di pemilu 2024, lantaran partai masih menampung koruptor dan kader yang tertangkap nyabu bersama seorang wanita.
Bukan sekedar menampung tapi malah memberi kedudukan tinggi di partai. Andi Mallarangeng, koruptor dana proyek Hambalang yang dipenjara 4 tahun ditunjuk sebagai sekretaris Majelis Tinggi Partai. Andi Arief yang pernah mengundurkan diri setelah ketangkap nyabu, kini malah didapuk AHY sebagai ketua badan pemenangan pemilu. Maklum, AHY memang belum matang berpolitik segaligus tidak menjual.