Tiap menjelang hari Natal, selalu saja ada cerita-cerita mengenai penolakan dan larangan beribadah. Bahkan dulu lebih parah, sempat ada ormas yang melakukan sweeping atau razia atribut Natal.
Kali ini polemik datang dari warga Kristen di Kecamatan Maja, Lebak, Banten.
Bupati Lebak Iti Octavia Jayabaya membantah kabar larangan ibadah Natal umat Kristen di Kecamatan Maja, Lebak, Banten. Warga Kristen diminta beribadah di kawasan Rangkasbitung karena Maja belum ada gereja.
Sebagai info, perlu kalian ketahui, bupati ini dari Demokrat. Sudah tahu, kan, Demokrat itu partai yang gimana? Ingat partai Demokrat, ingat apa? Jawaban yang sangat mudah, bahkan bocah ingusan pun bisa menjawab.
Jadi ceritanya warga selama ini beribadah di rumah atau ruko karena Maja belum ada gereja. Kata Iti, pengembang rumah keberatan dengan alasan sudah menjadi milik pribadi.
“Jadi ini kan harus ada izin lingkungan, di situ peruntukannya adalah ruko dan permukiman yang tidak boleh secara undang-undang itu izinnya harus sesuai,” kata Iti.
“Tidak ada pelarangan. Namun, berdasarkan hasil kesepakatan dari musyawarah Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB) bahwa pelaksanaan ibadah (bersama) Natal hanya boleh dilaksanakan pada tempat yang sesuai dengan perizinannya,” kata Iti lagi.
FKUB lagi. Akronim ini, kalau kalian melihat kenyataan di lapangan, sebenarnya sama sekali kurang membantu.
Ini sebenarnya cerita yang sudah usang dan terjadi berulang kali. Ujung-ujungnya sama saja, ada solusi, tapi seolah dipersulit.
Begini saja deh, Bupati tidak larang ibadah, kenapa tidak memudahkan warga ibadah dengan menyediakan gedung serba guna, atau tanah lapang kosong atau gimana kek? Bupati ini ada kesan takut dan tidak berani bertindak lebih jauh. Entah mau cuci tangan atau main aman. Kenapa harus suruh mereka ke tempat lain?
Contoh lah Walkot Depok, yang begitu peduli dengan keluhan dari sebagian orang yang mau ibadah sehingga nekat merelokasi sekolah demi membangun masjid padahal di daerah sana sudah ada cukup banyak.
Ini warga mau ibadah setahun sekali saja tidak bisa, alasan ini itu lah. Kadang miris melihat mereka yang beragama Kristen. Mau ibadah harus ikuti prosedur dan persetujuan pihak lain. Kalau umat agama mayoritas? Apakah perlu juga? Dari sini saja sudah jelas masalahnya, kan?
Apa susahnya sih bikin warga bahagia, hanya setahun sekali.
Soal rumah yang harus sesuai peruntukannya, ayolah, kayak gak tahu aja. Kalau rumahnya dijadikan tempat usaha atau rental, apakah melanggar peruntukan juga? Kita semua sudah tahu ada sentimen di balik ini semua.
Katanya sih, Iti menyarankan warga Kristen untuk segera mengurus perizinan pendirian gereja. Dia mengaku, sampai saat ini, belum ada pengajuan izin pembangunan gereja yang masuk.
“Makanya saya tantangin untuk segera urus izin untuk rumah peribadatan, termasuk saya bilang Maja ini akan besar penduduknya, ada 10 ribu unit rumah di situ, tolong fasilitasi semua agama di situ rumah peribadatannya, saya malah sarankan gitu,” kata Iti.
Kalau menurut perkataan bupati di atss, seolah mudah dan pasti beres, tinggal mengajukan izin. Tapi apakah sesimpel itu masalahnya? Apakah semudah itu solusinya?
Mohon ralat kalau saya salah, saya seting baca kalau mau mengajukan izin perlu tanda tangan atau persetujuan warga setempat. Begitu, kan? Ini saja sudah menjadi halangan pertama. Kalau ada yang menolak gimana? Bukankah izin jadi sulit?
Kalau misalnya tanda tangan warga sudah didapatkan, apakah izin akan semakin dipermudah? Banyak kasus izin yang sudah ada, tapi muncul polemik lain yang membuat pembangunan tidak kelar-kelar. Bahkan kadang bisa dibatalkan lagi.
Sebenarnya masalahnya cuma satu, ada sekelompok orang, atau mungkin ormas yang menolak. Itu saja sih.
Seperti yang saya katakan, kalau Bupatinya benar-benar peduli, fasilitasi saja warga dengan menyediakan gedung serba guna, tanah lapang atau tempat yang bisa dipakai. Bupatinya mau tidak? Tanda tanya besar.
Dan satu lagi. Orang ini dulu pernah bikin kontroversi.
Ini terkait perseteruan antara Moeldoko dan AHY. Moeldoko disebut akan merebut Demokrat lewat KLB.
“Saya Iti Octavia Jayabaya, ketua DPD Partai Demokrat Provinsi Banten beserta ketua DPC dan seluruh anggota DPRD di mana saya diberikan amanah dan pemilik suara yang sah sebagai ketua DPD. Kami menolak KLB ilegal dan Banten tidak gentar, kami tetap setia dengan ketum kami yang ganteng. Bapak Agus Harimurti Yudhoyono,” kata Iti.
“Kalaupun perintah lain kami harus turun berdemo, kami siap. Santet Banten akan dikirim untuk KSP Moeldoko! Terima kasih,” kata Iti.