Belum lama ini beredar postingan di medsos memanfaatkan berita tentang salah seorang yang dikenal sebagai relawan Anies Baswedan, yang habis dipukuli orang di daerahnya.
Bisa ditebak unggahan yang ingin membangkitkan “solidaritas palsu” (seperti gambar pelengkap tulisan ini), lantas bak gayung bersambut dari mereka yang hidupnya hanya mengedepankan emosi, tanpa berpikir apa yang sebenarnya terjadi.
Ternyata, tak lama berselang terkuak fakta menarik bahwa kasus kekerasan fisik itu bermula karena utang yang tak kunjung dibayar, eh sekalinya dibayar malah ada unsur tipu-tipu karena pakai cek kosong. Ya, dihajarlah akhirnya tuh manusia, tapi malah membelokkannya ke ranah politik dengan meminjam nama eks gubernur seiman pilihan 58 persen warga Jakarta itu.
Entah gimana reaksi para pendukung Anies, juga kader parpol yang mungkin sempat ikut bereaksi atas kasus kekerasan fisik yang melibatkan beberapa orang ini. Namun, jelas penyebabnya tak berkaitan sama sekali dengan politik, apalagi kalau misalnya tudingan sampai diarahkan ke pendukung Jokowi, Ganjar, atau rezim pemerintahan Jokowi.
Jauhlah pendukung Jokowi dari perilaku barbar semacam itu, karena selain nggak suka cari gara-gara, kita nggak pernah main kasar kok menghadapi aktivitas apa pun dari kelompok oposisi, bahkan kepada mereka yang suka memfitnah dan membenci Jokowi sekalipun.
Paling kalau nggak kita sindir, ya kita ketawain. Maklum, perilaku pendukung yang sebelah sono itu kan banyak yang asal sebar informasi, tanpa mau peduli apakah infomasinya benar atau mengandung hoaks. Soal solidaritas juga sama, bisa saja diciptakan atas dasar kebencian kepada sosok atau kelompok yang sama, kayak pas masa Pilkada DKI Jakarta 2017 dulu.
Menariknya, sosok yang didukung biasanya diam saja kalau ada kasus yang model begini. Sama kayak dulu orang ini menikmati keuntungan dari politik identitas serta politisasi ayat dan mayat, supaya bisa duduk di kursi empuk DKI-1.
Nah, bicara soal solidaritas memang bisa bermuatan positif atau negatif. Santai saja menyikapi fenomena ini. Kata kuncinya adalah “pakai logika dan kewarasan berpikir”, jangan mengedepankan emosi, apalagi semangat bela ini dan itu, termasuk bela agama … karena akan mudah diperalat buat melakukan tindakan destruktif.
Soal relawan atau pendukung Anies yang jadi pembahasan kita, ya biarkan saja. Kita malah bisa belajar dari contoh buruk agar jangan sampai menjadi seperti mereka, karena kita masih terhitung waras dalam berpolitik. Kalau ada yang “agak miring” sampai terbilang edan, ya masa’ kita mau ikut miring dan edan juga? Kalau mereka suka menebar hoaks atau memanipulasi berita kayak dilakukan oleh Buni Yani dengan editing videonya dulu, ya masa’ kita mau meniru yang begitu?