Sebagai orang yang percaya kalau lebih banyak partai itu berarti demokrasi lebih baik, lebih-lebih demokrasi Indonesia yang bukan demokrasi Amerika Serikat. Saya merasa senang dengan lolosnya beberapa partai baru untuk pemilu 2024.
Mereka saya sebut tiga saja, ada Gelora, lalu PKN dan partai dengan background hitam pada logo benderanya dan satu bintang berwarna emas yang bernama Partai Umat yang mencitrakan diri sebagai politik identitas.
Pada Gelora saya hanya melihat dua sosok tokoh nasional mereka yakni Anis Mata dengan cara berfikir yang filosofis abstratif dan seorang pujaan kalangan netizen dari Nusa Tenggara Fahri Hamzah yang membawakan diri sebagai seorang pemikir radikal (≠ekstrimis), orator dengan retorika yang menusuk pertahanan intelektual setiap pendengarnya.
Kemudian pada Partai Kebangkitan Nusantara (PKN) juga bisa dikatakan bahwa mereka berdiri karena keberadaan sosok Anas Urbaningrum, yang digambarkan sebagai tumbal politik dalam suatu dinasti partai politik. Sebagi korban, ia masih punya pengikut setia, yang kemudian para pengikitnya itulah yang mendirikan PKN.
Lalu di Partai Umat ini, juga terlahir karena suatu keadaan dimana tokohnya tidak lagi memiliko tempat di partai sebelumnya, sosok Amin Rais yang mendirikan PAN telah terlempar keluar, bersama menantu dan sisa-sisa pengikutnya ia pun mendirikan Partai Umat.
Ketiga partai tersebut, adalah pecahan dari partai yang sudah ada, Gelora dari PKS, PKN dari Demokrat dan PU dari PAN. Sebagai partai pecahan, mereka tidak menafikkan situasi dan keadaan tersebut. Mereka lebih fokus pada membangun citra mereka sendiri, dan mengidentikkan diri mereka tanpa bayang-bayang partai lamanya.
Uniknya disini, boleh dibilang, kalau Gelora dan PKN ini cara geraknya hampir-hampir sama, sesekali membuat suara-suara di media nasional agar kenasionalannya tidak diragukan, tapi juga bergerak lebih intens dan massif membangun basis-basis suara di pelosok-pelosok daerah.
Partai Umat ini yang menggelikan, geraknya di daerah tidak terlihat, apalagi terasakan, tapi suaranya di media berkait dengan isu-isu nasional, membuat saya merasa kegelian karean lucu.
PU ini telah menyatakan dukungan kepada Anies Baswedan dengan seakan-akan ia penentu, padahal ia partai baru, yang belum teruji kemampuannya untuk diamanahi keterwakilan suara rakyat.
Juga menyatakan diri sebagai partai dengan politik identitas, mungkin maksudnya baik, ia ingin menunjukkan diri dengan identitas yang jelas. Tapi dengan mengatakan hal tersebut, seperti menjadi pengakuan bahwa mereka bangga dengan keadaan gaduh sepanjang pilkada DKI Jakarta 2017 sampai Pilpres 2019.
Yang mana politik identitas itulah yang sebenarnya hampir-hampir saja membawa polarisasi di masyarakat yang mengancam persatuan dan kesatuan bangsa dan negara. Semoga kita tidak lupa dengan situasi saat politik identitas menguasai mainstream politik Indonesia saat itu.